Rabu, 24 November 2010

Kontroversi Aturan Pemilihan Rektor

Civitas akademik Untad kini ramai membicarakan siapa yang akan menahkodai Untad periode 2010-2014, selain itu juga ramai mendiskusikan apakah pengganti Sahabuddin Mustafa nanti akan memakai aturan lama yakni Permendiknas No 67 tahun 2008 atau Permendiknas No 24 Tahun 2010 yang baru disahkan tanggal 04 Oktober 2010.

Dalam permendiknas yang baru tersebut terlihat desentralisasi pemerintah dalam dunia pendidikan dikurangi, mengingat dalam pasal 6 ayat 2 point e.1, disebutkan bahwa Menteri memiliki 35% (tiga puluh lima persen) hak suara dari total
pemilih, jadi sisanya yakni 65 % suara baru kewenangan senat universitas.

Aturan tersebut dianggap kontroversi karena mengindikasikan intervensi pemerintah terhadap dunia pendidikan yang melibatkan kementerian pendidikan nasional dalam pemilihan rektor di Universitas Negeri. Namun hal tersebut dibantah oleh Menteri Pendidikan Nasional Muh Nuh sebagaimana di kutip di Media Indonesia (31/10) "Itu sudah lama kita bahas sejak MK menghapus UU BHMN, apalagi rektor sudah lama tidak menggunakan pola eselonisasi. Kalau ada eselonisasi memang kewenangan Presiden, tapi kalau tidak ya menteri teknis terkait," katanya di Surabaya, Minggu (31/10).

Ia mengatakan PP 66/2010 yang mengatur rektor itu dipilih dan diberhentikan menteri teknis terkait dan Permendiknas 24/2010 tentang tatacara pemilihan yang 65 senat dan 35 menteri itu dikeluarkan karena rektor bukan pejabat eselon I.

"Dulu, rektor itu pejabat eselon I dengan golongan IV-c, sehingga rektor itu diangkat presiden, tapi sejak tahun 1999 terjadi de-eselonisasi, sehingga rektor menjadi jabatan fungsional," katanya.

Namun, katanya, sejak posisi rektor berubah menjadi jabatan fungsional itu tidak ada perubahan dalam proses pemilihan, karena rektor tetap diputuskan Presiden, padahal Presiden hanya berwenang mengangkat pejabat eselon I.

"Jadi, kalau sekarang diatur dengan proses pemilihan dan pemberhentikan dikembalikan kepada menteri teknis terkait itu bukan degradasi, karena hal itu justru yang seharusnya, bahkan PT BHMN juga diangkat MWA (majelis wali amanah) yang umumnya kalangan swasta," katanya.

Selain itu, katanya, proses pemilihan dan pemberhentian rektor itu dikembalikan kepada dirinya selaku menteri teknis terkait sesuai dengan status rektor sebagai dosen dengan tugas tambahan.

"Kalau PP 66/2010 mengembalikan kepada Mendiknas, maka hal itu karena rektor adalah dosen dengan tugas tambahan yakni tugas akademik yang ditambah dengan tugas birokrasi dalam mengatur aset, akademik, dan keuangan," katanya.

Oleh karena itu, katanya, apa yang dilakukan Mendiknas dalam proses pemilihan rektor itu bukan intervensi, tapi merupakan bagian dari mekanisme birokrasi.

"Kalau nggak ada yang mengangkat dan memberhentikan, lalu siapa? Bahkan, suara Mendiknas juga tidak terlalu banyak, mengingat rektor merupakan tugas tambahan, sehingga prosesnya ditentukan senat sebanyak 65% dan Mendiknas hanya 35%," katanya.

Menurut dia, peran senat dalam pemilihan rektor juga sebatas hak usul, sedangkan Mendiknas memilih hak memutuskan, karena itu proses yang ideal adalah pemilik suara 65% dan 35% itu mengadakan rapat bersama.

Dalam permendiknas tersebut juga memuat syarat-syarat untuk jadi rektor antara lain adalah :memiliki pengalaman manajerial di lingkungan perguruan tinggi paling
rendah sebagai ketua jurusan atau sebutan lain sekurang-kurangnya 2
(dua) tahun;tidak sedang menjalani tugas belajar lebih dari 6 (enam) bulan yang
dinyatakan secara tertulis; berpendidikan Doktor (S3) bagi calon Rektor/Ketua dan paling rendah Magister (S2) bagi calon Direktur;menduduki jabatan akademik paling rendah Lektor Kepala bagi calon Rektor/Ketua dan paling rendah Lektor bagi calon Direktur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar